Rabu, 23 Januari 2013

SEJARAH
Saat didirikan tahun 1989 klub ini bernama Gelora Dewata 89 dengan markas di Bali. Tahun 2001 seiring perpindahannya ke Sidoarjo kembali berganti nama menjadi Gelora Putra Delta. Beberapa waktu kemudian nama Delta Raya Sidoarjo atau lebih dikenal dengan nama Deltras ditetapkan sebagai nama resmi klub yang juga memiliki julukan sebagai The Lobster.

Deltras adalah juara terakhir kompetisi Piala Galatama tahun 1994 yang saat itu masih bernama Gelora Dewata. Dari awal kompetisi Liga Indonesia tahun 1994 Deltras muncul sebagai tim yang bisa dikatakan medioker. Hingga akhirnya tahun 2008 pada saat kompetisi ISL (Liga Super Indonesia) dimulai justru the Lobster degradasi ke Divisi Utama.

Setahun bermain di kasta kedua Divisi Utama maka musim 2010/11 pasukan the Lobster kembali promosi ke ISL bersama tiga klub lainnya yakni Semen Padang dan Persibo Bojonegoro. Bahkan saat itu Manajemen Deltras melakukan pembelian pemain-pemain asing maupun lokal yang sudah memiliki nama seperti bek kawakan Marcio Souza dan pemain berpengalaman Danilo Fernando hingga mantan bek Timnas Bejo Sugiantoro. Akan tetapi hingga akhir musim Deltras adalah klub promosi dengan posisi terendah di peringkat 13 klasemen akhir dan bahkan nyaris degradasi.

Peluang itu tetap masih ada menjelang digulirkannya kompetisi sepakbola nasional baru musim 2011/2012 di tangan PSSI yang sudah melakukan reformasi. Nama Deltras tetap akan berada sebagai salah satu kontestan disamping sudah dinyatakan lolos audit dan memenuhi syarat.
sejarah supporter DELTRAS

SEJARAH BERDIRINYA DELTA MANIA


The Lobster Deltras Sidoarjo beruntung mempunyai pendukung setia seperti Deltamania. Selain andal memompa semangat dan rajin memberi masukan, Deltamania juga akrab dengan kelompok suporter lain.

Deltamania berdiri tanggal 16 Februari 2001 yang dibidani oleh 5 orang gila bola, yaitu M. Hassanudin (Bob Hasan), Reza Panggabean, Nur Wak, Budi Pamulung, dan juga Iwan Sumantri. Deltamania lahir sebagai buntut dari pindahnya Gelora Dewata (GeDe) Bali ke Sidoarjo dan berganti nama menjadi Gelora Putra Delta (GPD). Pada awal kelahirannya, Deltamania menggunakan kostum kebesaran Putih sebagai tanda pihak netral dalam kanca suporter di Jatim yang telah muncul bermacam-macam corak warna. Aremania misalnya dengan atribut biru warna khasnya, Bonekmania dengan corak hijau yang melegenda, serta juga Ultrasmania dengan warna kuning.

Awalnya Deltamania kesulitan dalam mencari anggota, disamping karena prestasi GPD waktu itu sedang terpuruk dipapan bawah kompetisi, juga karena Sidoarjo merupakan basis dari pendukung Persebaya atau yang dikenal dengan Bonekmania selama bertahun-tahun.

Namun setelah ditengah kompetisi prestasi GPD beranjak naik, maka perlahan-lahan banyak juga masyarakat Sidoarjo yang tertarik untuk bergabung bersama Deltamania. Sampai pada akhir musim jumlahnya sungguh diluar dugaan banyaknya seiring dengan lolosnya GPD dari lubang jarum degradasi ke Divisi I. Pada musim kompetisi tahun 2002 Deltamania berganti warna kebesaran menjadi merah mengikuti corak kostum GPD. Jumlahnya pun makin bertanbah banyak.

Jumlah yang begitu banyak semakin menggelembung ketika musim kompetisi 2003 mulai bergulir. Hal itu dipicu oleh prestasi bagus GPD yang telah berganti nama menjadi Deltras Sidoarjo setelah dibeli oleh Pemkab Sidoarjo diawal musim. Disamping itu juga karena materi pemain Deltras di musim itu layak disebut sebagai yang terbaik dalam sejarah berdirinya GPD atau Deltras. Siapa yang tidak mengenal sosok Budi Sudarsono di sektor depan Deltras, I Putu Gede sebagai kapten kesebelasan, serta duo bek sayap Anang Ma’ruf di kanan dan Isdiantono di kiri, Serta Agung Prasetyo di bawah mistar gawang. Semua itu masih ditopang oleh trio pemain asing yang berkualitas, Adolfo Souza dengan goyang sambanya di sektor depan bersama Jean Michel Babouaken serta Eduardo Chacon di barisan belakang. Prestasi Deltras waktu itu sangatlah bagus, bahkan sempat menguasai puncak klesemen sementara.

Namun sayang prestasi itu tidak berlanjut sampai akhir musim, sehingga animo besar Deltamania itu pun perlahan-lahan mulai menyurut. Hal itu terus terjadi dimusim 2004, 2005, dan juga musim 2006 yang menandai sebagai musim suram Deltras Sidoarjo di kanca Divisi Utama Liga Indonesia. Dalam musim-musim itu Deltras berturut-turut lolos dari lubang degradasi berkat kebijakan dari PSSI.

Pada musim 2007 animo Deltamania untuk datang ke stadion mulai beranjak naik seiring dengan membaiknya prestasi Deltras. Dengan diperkuat duo Argentina dilini tengah, yaitu Jose Sebastian Vasquez dan Claudio Damian Pronetto, Deltras mampu bertahan di papan atas Divisi Utama Liga Indonesia sepanjar musim 2007 berlangsung. Semua itu berimbas dengan lolosnya Deltras ke babak 8 besar untuk pertama kalinya.

Sejarah

Sejarah terbentuknya PSIM dimulai pada tanggal 5 September 1929 dengan lahirnya organisasi sepak bola yang diberi nama Perserikatan Sepak Raga Mataram atau disingkat PSM. Nama Mataram digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram. Kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram atau disingkat PSIM sebagai akibat tuntutan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. PSIM sendiri saat itu sesungguhnya merupakan suatu badan perjuangan bangsa dan Negara Indonesia.
Pada tanggal 19 April 1930, PSIM bersama dengan VIJ Jakarta (sekarang Persija Jakarta), BIVB Bandung (Persib Bandung), MIVB (PPSM Magelang), MVB (Madiun Putera Fc) SIVB (Persebaya Surabaya), VVB (Persis Solo) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. PSIM dalam pertemuan tersebut diwakili oleh HA Hamid, Daslam, dan Amir Noto. Setelah melalui perbagai pertemuan akhirnya disepakati berdirinya organisasi induk yang diberi nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1931 dan berkedudukan di Yogyakarta.
Sejak tahun itu pulalah kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. Dalam kompetisi perserikatan, PSIM pernah menjadi juara pada tahun 1932 setelah dalam pertandingan final di Jakarta mengalahkan VIJ Jakarta. Selanjutnya PSIM berkali -kali hanya dapat menduduki peringkat kedua setelah kalah dalam pertandingan final kompetisi perserikatan pada tahun 1939, 1940, 1941, 1943, dan 1948.
Sejak Liga Indonesia bergulir pada tahun 1994, prestasi PSIM mengalami pasang surut yang ditandai dengan naik turunnya PSIM dari divisi utama ke divisiI Liga Indonesia. PSIM pernah mengalami degradasi pada Liga Indonesia 1994/1995 dan promosi dua tahun kemudian. Setelah bertanding selama tiga musim di divisi utama, PSIM kembali harus terdegradasi ke Divisi I pada musim kompetisi 1999/2000.
Tiga tahun kemudian pada Divisi I Liga Indonesia 2003 PSIM baru bangkit dan membidik target untuk promosi dengan persiapan tim yang matang. Di babak penyisihan PSIM bahkan dua kali mengkandaskan tim favorit Persebaya Surabaya dalam pertandingan tandang kandang dengan skor telak 3-1, dan 3-0, dan menjuarai Grup C. Sayangnya keperkasaan PSIM semakin lama semakin luntursehingga gagal melanjutkan dominasinya pada babak 8 besar yang berlangsung dengan kompetisi penuh. PSIM yang sejak awal memimpin klasemen harus puas berada di peringkat ke-4, dan berkesempatan untuk mengikuti playoff. Di babak playoff yang dimainkan di Solo, PSIM kalah bersaing dengan Persela Lamongan hanya karena perbedaan jumlah gol.
Akhirnya, pada tahun 2005 PSIM berhasil lolos ke kasta tertinggi liga indonesia setelah keluar sebagai juara divisi I yang dalam pertandingan final mengalahkan Persiwa Wamena di stadion Si Halak Harupat Bandung dengan skor 2-1. Mulai 2010 PSIM semakin eksis di kancah sepakbola nasional dengan prestasi yang semakin meningkat dan akhirnya mulai kompetisi 2011/2012 PSIM telah menjadi tim profesional yang tidak lagi mengandalkan dana dari APBD.

Suporter

Dari sekian banyak pertemuan-pertemuan melibatkan laskar-laskar PSIM waktu itu maka pada tanggal 15 Februari 2003 di Yogyakarta tepatnya di Balai RK Mangkukusuman Markas Laskar PSIM yaitu Hooligans. H.Guntur Artamaji sebagai penggagas dikumpulnya sekelompok laskar PSIM sebelum adanya Brajamusti ( Hooligans, Mgr, Cobra Mataram, Dahkota, Baju Barat, Pathuk squad & Cidelaras). Menetapkan pemilihan nama Suporter PSIM melalui Sayembara surat kabar dan akhirnya terpilih dari sekian banyak nama-nama akhirnya dipilih nama Brajamusti kepanjangan dari 'Brayat Jogja Mataram Utama Sejati'.
Arti sesungguh nya dari kata Brajamusti adalah Aji-ajian sakti dari Gatutkaca. Bima adalah salah satu dari pandawa lima, mempunyai anak Gatutkaca. Dia adalah raksasa di Mahabharata dan hanya muncul pada saat perang Baratayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa dalam pewayangan dengan berbagai cerita dan kesaktiannya dengan aji-ajian Brajamusti yang sampai saat ini masih bisa dipelajari dikalangan masyarat Jawa.
Maksut dari pengambilan nama Brajamusti untuk wadah suporter PSIM adalah supaya Brajamusti menjadi senjata atau aji-ajian yang ampuh untuk PSIM untuk menghadapi lawan-lawannya dipentas sepakbola Nasional. Jadi Brajamusti selalu ada disamping PSIM dimanapun berlaga.
sejarah supporter PSIM

Sejarah Brajamusti




Dari sekian banyak pertemuan-pertemuan melibatkan laskar-laskar PSIM waktu itu maka pada tanggal 15 Februari 2003 di Yogyakarta tepatnya di Balai RK Mangkukusuman Markas Laskar PSIM yaitu Hooligans. H.Guntur Artamaji sebagai penggagas dikumpulnya sekelompok laskar PSIM sebelum adanya Brajamusti ( Hooligans, Mgr, Cobra Mataram, Dahkota, Baju Barat, Pathuk squad & Cidelaras). Menetapkan pemilihan nama Suporter PSIM melalui Sayembara surat kabar dan akhirnya terpilih dari sekian banyak nama-nama akhirnya dipilih nama Brajamusti kepanjangan dari 'Brayat Jogja Mataram Utama Sejati'.
 
Arti sesungguh nya dari kata Brajamusti adalah Aji-ajian sakti dari Gatutkaca. Bima adalah salah satu dari pandawa lima, mempunyai anak Gatutkaca. Dia adalah raksasa di Mahabharata danhanya muncul pada saat perang Baratayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa dalam pewayangan dengan berbagai cerita dan kesaktiannya dengan aji-ajian Brajamusti yang sampai saat ini masih bisa dipelajari dikalangan masyarat Jawa.
 
Maksut dari pengambilan nama Brajamusti untuk wadah suporter PSIM adalah supaya Brajamusti menjadi senjata atau aji-ajian yang ampuh untuk PSIM untuk menghadapi lawan-lawannya dipentas sepakbola Nasional. Jadi Brajamusti selalu ada disamping PSIM dimanapun berlaga.

Sejarah

Walaupun mewakili provinsi Sumatera Selatan, Sriwijaya FC didirikan di Jakarta dengan nama Persijatim Jakarta Timur pada tahun 1976. Karena alasan finansial, klub ini sempat pindah ke Solo dan menjadi Persijatim Solo FC pada tahun 2002 hingga 2004. Setelah itu klub ini dibeli oleh pemerintah provinsi Sumatera Selatan dan diganti namanya menjadi Sriwijaya FC Palembang.[1]

Logo SFC

Logo berbentuk lingkaran bertuliskan Sumatera Selatan Bersatu Teguh mempunyai arti bahwa Sriwijaya FC dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesatuan yang bulat dari seluruh masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan.

Tempat pendukung 

Stadion Gelora Sriwijaya

Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring yang berkapasitas 40.000 penonton ini merupakan stadion kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Stadion ini juga merupakan stadion terbesar ketiga di Indonesia. Stadion ini juga diakui sebagai salah satu stadion terbaik bertaraf internasional.[rujukan?]

Mess Pertiwi

Mess Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang dikelola oleh Dharma Wanita Pemprov Sumsel digunakan sebagai mess para pemain dan staff pelatih, sehingga dapat menekan anggaran kebutuhan tim. Walaupun mess ini terletak di tengah kota, yaitu di Jl. Ba Salim Batubara Sekip Pangkal, tetapi mess ini tetap menimbulkan kesan asri sehingga menjadi kenyamanan tersendiri bagi
sejarah supporter SRIWIJAYA FC

sejarah SINGA MANIA



Pada tahun 2004 pemprov Sumatera selatan melakukan take over pembelian Klub sepak bola jawa timur Persijataim Solo yang saat ini berubah nama menjadi Sriwijaya fc. Untuk mendukung tim kebanggan kota Palembang sriwijaya fc yang berlaga didivisi utama, maka dibentuklah suatu komunitas pencinta sepak bola Palembang yang bernama fans sriwijaya mania yang didirikan oleh beberapa orang saja.

Setelah musim kompetisi liga Indonesia tahun 2004 berakhir, kelompok suporter sriwijaya fc yang dulu nya bernama fans sriwijaya berubah nama menjadi sriwijaya mania yang dipimpim oleh saudara Masyahiril S.pd. Setelah menjabat sebagai ketua umum sriwijaya mania yang pertama priode 2005/ 2006 banyak masyarakat yang bergabung menjadi kelompok suporter sriwijaya mania.

Pada tahun 2005 jumlah anggota sriwijaya mania semakin bertambah banyak hinga ke daerah-daerah yang berada di Sumatera Selatan.
Pada tahun 2005 kompetisi baru berjalan setengah kompetisi, kelompok suporter sriwijaya fc , sriwijaya mania yang dipimpim Masyahiril terpecah menjadi dua, dan memisahkan diri dari sriwijaya mania dan muncul lah kelompok suporter baru di Palembang yang di dirikan oleh 8 orang yang menamakan kelompok suporter mereka singa mania, adapun penamaan singa disini adalah sriwijaya ngamuk (singa).

Singa Mania dinyatakan lahir pada tanggal 05-05-2005, serta menggunakan slogan sebagai suporter hati nurani dan berjanji akan senantiasa mendukung Sriwijaya FC kemana pun berlaganya.

Logo PSISPersatuan Sepak Bola Indonesia Semarang atau PSIS adalah klub sepak bola yang bermarkas di kota Semarang, Indonesia dengan markas Stadion Jatidiri Semarang. Julukan klub ini adalah "Laskar Mahesa Jenar".
PSIS tercatat pernah menjuarai Liga Perserikatan dan Divisi Utama Liga Indonesia masing-masing satu kali.
Sejarah tim sepak bola kota Semarang telah berlangsung sejak lama ketika kota ini masih berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Yang pertama tercatat adalah team sepak bola UNION yang berdiri tanggal 2 Juli 1911. UNION sendiri hanyalah sebutan bagi tim dengan nama Tionghoa Hoa Yoe Hwee Koan. Tim ini mendapatkan hak rechspersoon tahun 1917 dari pemerintah kolonial.
Selanjutnya ada pula tim bernama Comite Kampioens-wedstrijden Tionghoa (CKTH) dengan gedung olahraga di wilayah Seteran. Pada tahun 1926 tim ini berubah nama menjadi Hwa Nan Voetbalbond (HNV). Tercatat klub Hwa Nan ini bahkan telah melakukan pertandingan eksibisi dengan klub luar negeri asal Taiwan, Loh Hua Team Voetbalbond.
Di kalangan pendukung pribumi, perkumpulan yang menonjol adalah Tots Ons Doel (TOD) yang didirikan pada 23 Mei 1928, bermarkas di Tanggul Kalibuntang (sekarang Jl. Dr. Cipto). Dalam perjalanannya Tots Ons Doel berganti nama menjadi PS. Sport Stal Spieren (SSS). PS SSS inilah yang kemudian menjadi cikal bakal PSIS. Pada tahun 1930 team ini berganti nama menjadi Voetbalbond Indonesia Semarang (VIS) yang berlatih di lapangan Karimata Timur.
Setelah PSSI lahir pada 19 April 1930, Voetbalbond Indonesia Semarang berganti nama penjadi Persatuan Sepak bola Indonesia Semarang (PSIS) yang beranggotakan klub sepak bola Romeo, PSKM, REA, MAS, PKVI, Naga, RIM, RDS dan SSS sendiri. Adapun nama klub SSS kemudian berganti menjadi berbahasa Indonesia, Sport Supaya Sehat, sampai sekarang.
Pada saat ini PSIS berlaga di kompetisi divisi utama PSSI atau kasta level 2 setelah Indonesian Premier League (IPL).
sejarah supporter PSIS

SEJARAH PERJALANAN SNEX


Dalam perjalanan SNEX sebagai sebuah organisasi supporter militan PSIS selain struktur organisasi resmi yang ada yaitu PP, Korwil, Korcab dan Korkel masih ada dinamika lain oleh anggota SNEX yang juga diakui yaitu komunitas. Komunitas di dalam SNEX seakan menjadi warna tersendiri dan makin mempercantik organisasi. Diantara komunitas yang telah eksis terlebih dahulu antara lain : Es Cong Yang 3 Rasa, Garis Keras Mlatibaru, AA Gym Gayamsari, Capelo Pedurungan, Tipe-X Pedurungan, Snexwoman, GAM Mangkang, Pantura Mania, Setan Laut Bon Harjo, Pacinko Tanah Mas, Militan Ikan Bakar Jimbaran, Snex Parkiran, Kaliber Kaligawe, dan masih banyak lagi. Komunitas pun menjadi saluran alternatif untuk berkumpul baik karena letak wilayah yang sama maupun kesamaan hobi atau tujuan. Komunitas yang ada di SNEX makin hari makin bertambah dan menjadi salah satu unsur yang mendorong organisasi SNEX menjadi semakin besar dan berkibar. Komunitas-komunitas barupun bermunculan medio Maret-April 2008 diantaranya adalah Semarang Extreme Futsal Community (SEFC), Komunitas Diskusi SneX (Komdis SNEX) dan pemilik resmi blog ini Semarang Extreme Cyber Community (SECC). Dari banyak komunitas di SNEX tersebut tercetus ide untuk dapat mewadahi komunitas-komunitas yang ada dengan satu tujuan yang sama yaitu agar SNEX menjadi makin besar, berkibar serta makin maju (kayaknya idealis banget...... diukur darimana tuh?). Salah satu nama yang mengerucut adalah Semarang Extreme Community yaitu suatu konsep yang digagas oleh sebagai tempat bagi komunitas yang ada untuk dapat saling berkomunikasi serta dapat terarah dalam mendukung SNEX maupun PSIS, dengan pemikiran bahwa komunitas yang ada di SNEX belum diwadahi atau belum dapat ditampung dan diakomodasi didalam struktur organisasi SNEX meski secara resmi diakui sebagai bagian dari Keluarga Besar Supporter Semarang Extreme. Bahkan didalam AD/ART SNEX pun komunitas tidak tercantum sebagai bagian dari struktur organisasi sehingga ketika ada Rapat Pleno bahkan Kongres sekalipun keberadaan komunitas seakan tidak terakomodir ataupun tersentuh, walaupun sesungguhnya komunitas sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung ikut berperan dalam memajukan dan membesarkan SNEX. Sehingga atas kesadaran akan pentingnya suatu komunitas yang terwadahi, yang sudah tentu sengan sendirinya SNEX akan bergaya eh...salah maksudnya berjaya.
dan SELAMAT BERGABUNG DI SEMARANG EXTREME COMMUNITY

Sejarah Panser Biru


Gedung berlian dan tragedi Manahan mempunyai arti yang sangat penting bagi lahirnya Panser Biru.Di dua tempat itulah awal mula terbesit untuk membentuk organisasi suporter atraktif pertama di Semarang bernama Panser Biru. Tragedi Manahan telah menjadi spirit bagi cah-cah Semarang untuk membentuk suatu kelompok organisasi supporter yang atraktif dan kreatif,maklum saja tragedi Manahan selain membuat banyak jatuhnya korban secara fisik tetapi juga secara psikis karena terdegradasinya PSIS ke Divisi 1 untuk pertama kalinya selama Ligina digulirkan.
Diawali dengan bertemunya sekitar 15 orang gila bola di Gedung Berlian JL.Pahlawan Semarang ,mereka mulai membicarakan embrio terbentuknya suatu kumpulan supporter yang terorganisir, mereka adalah Ari Sudrajat, Arief Pamungkas, Beny Setyawan, Miko, Duryanto“pesek”, Djoened, Dody, Oky, Ibnu, Sastono, Bayu, Aris, Nevo, Agus, Arief. Dari situ terbentuklah nama “Forum Peduli PSIS”, dan nahkoda sementara dipegang oleh Duryanto “Pesek”. Lambat laun tiap minggu secara kontinyu pertemuan terus diadakan di Stadion Tri Lomba Juang Mugas Semarang. Tanggal 22 Oktober 2000 pertemuan pertamanya diikuti hanya oleh 20 orang saja.Selanjutnya pertemuan kedua tanggal 29 Oktober 2000 diikuti oleh 35 orang,dan finalnya tanggal 5 November 2000 pertemuan yang ke 4 berhasil diikuti oleh 75 orang yang secara aklamasi fans PSIS yang berkeumpul ini sudah mulai mencari nama yang pantas disandang oleh organisasi yang akan dibentuk ini.Ada usulan nama Fan Bos ( Fans Bocah Semarang ) yang diusulkan oleh anak-anak Semarang Selatan, Pasukan Suporter Semarang-Biru ( Panser Biru ) oleh Sdr Beny Setyawan, Bosnia

 ( Bocah Semarang Mania ) yang disuarakan Anak Banyumanik, SAS, Bocah Semarang ( Bocas ), Tiffosi, dan masih banyak lagi. Selain itu sejumlah lagu juga telah diusulkan untuk dinyanyikan apabila PSIS sedang berlaga di stadion. Aklamsi akhirnya membuktikan kalau nama Panser Biru karya Sdr Beny Setyawan banyak mendapat suara dari fans PSIS sehingga sejak saat itu dipilihlah nama Panser Biru menjadi nama organisasi supporter sepakbola baru Semarang.
Semangat anak-anak Semarangpun mulia berkobar-kobar menyambut terbentuknya organisasi baru PSIS ini layaknya api yang membara. Puncaknya tanggal 1 Desember 2000 pada saat latihan perdana PSIS di stadion Jatidiri yang akan mempersiapkan diri berlaga di divisi 1 liga Indonesia ,Panser Biru mulai beraksi untuk pertama kalinya di depan publik . Segala gerakan,tarian serta yel-yel atraktif mulai diperlihatkan secara menarik.Nuansa tersebut sebelumnya belum pernah ada di dalam stadion.Para pecinta PSIS pun yang sedang melihat latihan banyak yang terperangah melihat ada “sesuatu” yang baru di tengah-tengah mereka.Gelora anak Panser tak hanya sampai di sini saja,tetapi terus berlanjut dari tiap pertandingan ke pertandigan kandang maupun tandang PSIS.Nah,setelah melalui proses yang panjang akhirnya tanggal 25 Maret 2001 nama besar Panser Biru dideklarasikan sebagai organisasi supporter pertama PSIS yang mengusung kreatifitas dan atraktifitas di komplek GOR Tri Lomba Juang Mugas Semarang yang juga dihadiri kurang lebih 5000 orang simpatisan.

Kini Panser Biru telah memasuki usia matangnya yang ke-7 di tahun 2008 ini. Pasang surut,terpuruk dan jaya,senang maupun susah,sehat dan sakitnya Panser sudah banyak dirasakan kelompok ini.Ya, sekali lagi semangat satu Semarang satu yang digelorakan dari dulu hingga kini masih terus dipegang serta dihayati oleh semua anggota dengan satu tujuan tentunya yaitu mendukung PSIS menjadi klub sepakbola terbaik di kasta tertinggi kancah persepakbolaan Indonesia. Bravo PSIS, Bravo Panser Biru !!!!!!!



Perserikatan Sepakbola Sleman (PSS) lahir pada Kamis Kliwon tanggal 20 Mei 1976 semasa periode kepemimpinan Bupati Drs. KRT. Suyoto Projosuyoto. Lima tokoh yang membidani kelahiran PSS adalah: Suryo Saryono, Sugiarto SY, Subardi, Sudarsono KH, dan Hartadi. Lahirnya PSS dilatarbelakangi bahwa pada waktu itu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baru ada 2 perserikatan yaitu PSIM Yogyakarta dan Persiba Bantul. Meskipun klub-klup sepakbola di kabupaten Sleman telah ada dan tumbuh, tetapi belum terorganisir dengan baik karena di Kabupaten Sleman belum ada perserikatan. Hal ini berdampak terhadap kelancaran klub-klub sepak bola di Kabupaten Sleman dalam mengadakan kompetisi sehingga banyak pemain Sleman yang bergabung ke klub-klub sepak bola di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

Keinginan masyarakat yang kuat di Kabupaten Sleman untuk memilki perserikatan klub sepak bola akhirnya mulai terwujud dengan adanya informasi yang disampaikan oleh Komda PSSI DIY pada waktu itu (Prof. Dr. Sardjono) yang menyatakan bahwa syarat untuk membentuk perserikatan sepak bola minimal harus ada 5 (lima) klub. Di Kabupaten Sleman pada waktu itu sudah ada 5 (lima) klub yaitu PS Mlati, AMS Seyegan, PSK Kalasan, Godean Putra dan PSKS Sleman. Akhirnya, tepat pada tanggal 20 Mei 1976, PSS dibentuk dengan Ketua Umum Gafar Anwar (Seorang Polisi). Setelah Gafar Anwar meninggal, posisi Ketua Umum PSS digantikan Oleh Drs. Suyadi sampai dengan 1983. Periode 1983-1985, PSS dipimpin oleh Drs. R. Subardi Pd (Drs. KRT. Sosro Hadiningrat). Periode 1986-1989, PSS dipimpin oleh Letkol Infanteri Suhartono. Karena ada perubahan masa bakti/periodisasi dalam memimpin klub perserikatan yang dilakukan oleh PSSI menjadi 4 tahunan maka ditengah perjalanan periode Letkol Infanteri Suhartono tepatnya tahun 1987, Letkol Infanteri Suhartono masih dipilih lagi sebagai Ketua Umum PSS untuk masa jabatan 1987-1991. Kemudian pada periode 1991-1995, PSS dipimpin oleh H. RM. Tirun Marwito, SH.


Mulai periode 1996-2000, PSS dipimpin langsung iloh Bupati, pada waktu itu Drs. H Arifin Ilyas. Selanjutnya tahun 2000-2004, PSS dipimpin oleh Bupati Drs. Ibnu Subiyanto, Akt. Jabatan Drs. Ibnu Subiyanto, Akt dalam memimpin PSS yang berarkhir pada tahun 2004 diperpanjang mulai 2005, banyak nama yang membesarkan PSS, diantaranya: Sudarsono KH, Sukidi Cakrasuwignyo, Suparlan, Arifin Ilyas, Ibnu Subiyanto.


Tiga tahun setelah PSS dibentuk, PSS mulai mengikuti kompetisi Divisi II PSSI pada tahun 1979. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pada waktu itu memiliki 5 (lima) perserikatan langsung masuk divisi IIA bersama dengan perserikatan-perserikatan di Propinsi Jawa Tengah (menjadi satu rayon) sehingga perserikatan manapun yang lolos di DIY harus bergabung dulu dengan Propinsi Jawa Tengah. Pada waktu itu, PSS selalu mengikuti kompetisi Divisi II PSSI tahun 1979-1996 sampai kemudian PSS promosi ke kompetisi Divisi I PSSI pada kompetisi 1995/1996 dengan pelatih Suwarno. Selama berada di Divisi II PSS tidak pernah mendapatkan sumber pendanaan dari Pemerintah Kabupaten Sleman. Sumber pendanaan PSS pada waktu itu berasal dari kontribusi pribadi masyarakat Sleman yang gila bola. PSS promosi ke Divisi I PSSI setelah lolos melalui prtandingan play off di Stadion Tridadi pada tanggal 4-9 Juli 1996. Kemudian PSS mengikuti kompetisi Divisi I PSSI selama 4 tahun mulai musim kompetisi 1996/1997 sampai musim kompetisi 1999/2000.


PSS memulai perjuangan dalam kompetisi Divis II PSSI pada rahun 1979 dengan lawan tim-tim sepak bola yaitu Persiba Bantul, Persig Gunung Kidul, dan Persikup Kulon Progo untuk tim yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam babak penyisihan tersebut PSS menjadi juara. Setelah lolos babak penyisihan PSS bersama tim-tim perserikatan sepak bola dari Propinsi Jawa Tengah yang lolos babak penyisihan seperti PSIR Rembang, Persijap Jepara, dan Persibat Batang melakukan kompetisi dengan hasil PSS selalu gagal maju ke babak ketiga atau babak tingkat nasional.


Tahun 1996, PSS meraih juara kompetisi Divisi II PSSI untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah bertanding dengan tim-tim dari yang lolos penyisihan dari Propinsi Jawa Tengah, PSS berhasil lolos bakak ketiga dan berhasil promosi ke Divisi I pada kompetisi tahun 1996/1997 setelah lolos pada pertandingan play off melawan Persiss Sorong, Aceh Putera dan Persipal Palu.


Tahun 2000 adalah tahun berakhirnya masa jabatan Bupati Drs. H. Arifin Ilyas dan sebagai bupati ingin meninggalkan kesan yang terbaik, sehingga termotivasi kuat untuk mengantarkan PSS masuk Divisi Utama PSSI. Akhirnya, pada kompetisi tahun 1999/2000, dalam situasi krisi moneter PSS berhasil promosi ke Divisi Utama PSSI setelah PSS bersama-sama dengan Persita, Persikabo dan Persijap melakukan pertandingan 4 besar di Stadion Tangerang dan PSS menjadi Juara II Kompetisi Divisi I PSSI. Pertandingan 4 besar tersebut berlangsung 26-30 Mei 2000. Dan sebagai Manager PSS adalah H. Sukidi Cakrasuwignyo dengan pelatih Drs. Bambang Nurjoko dan Drs. Herwin Sjahrudin. 

PRESTASI PSS SLEMAN 

LIGA
* 1979 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY
* 1980 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY
* 1981 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1982 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1983 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1984 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1985 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1986 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1987 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1988 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1989 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1990 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1991 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1992 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1993 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1994/1995 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II DIY peringkat 1
* 1995/1996 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI II NASIONAL peringkat 2
* 1996/1997 KOMPETISI PERSERIKATAN DIVISI I peringkat 3
* 1997/1998 KOMPETISI DIHENTIKAN
* 1998/1999 LIGA INDONESIA DIVISI I peringkat 4
* 1999/2000 LIGA INDONESIA DIVISI I peringkat 2 (promosi ke DIVISI UTAMA)
* 2001 LIGA INDONESIA MANDIRI VII DIVISI UTAMA wil. Timur peringkat 9
* 2002 LIGA INDONESIA MANDIRI VIII DIVISI UTAMA wil. Timur peringkat 7
* 2003 LIGA INDONESIA MANDIRI IX DIVISI UTAMA wil. Timur peringkat 4
* 2004 LIGA INDONESIA MANDIRI X DIVISI UTAMA wil. Timur peringkat 4
* 2005 LIGA INDONESIA DJARUM XI DIVISI UTAMA wil. Barat peringkat 7
* 2006 LIGA INDONESIA DJARUM XII DIVISI UTAMA wil. Timur peringkat 13
(PSS berhenti bertanding karena gempa DIY)
* 2007 LIGA INDONESIA DJARUM XIII DIVISI UTAMA wil. Barat peringkat 12
* 2008 Liga Esia Divisi Utama 2008 Wilayah Timur peringkat 8
* 2009 Liga Joss 2009/ 2010 Grup 3 peringkat 10
* 2010 Liga Tiphone 2010/2011 Grup Timur peringkat 10 
sejarah supporter PSS
 
  ini bagian pertama dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian pertama ini akan lebih banyak mengulas pengertian dan nilai-nilai Ultras serta kehadiran mereka di Italia. Bagian kedua, “Ultras, Kekerasan dan Rasisme” akan saya unggah beberapa hari lagi, dan bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing artikel dapat dibaca secara mandiri.
 
Sebelumnya, pendukung suatu klub bersifat individualis, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Mereka mungkin saja patriotis di stadion, tetapi identifikasi dan simbolisasi diri pendukung terhadap klub berhenti begitu laga usai dan lampu stadion dipadamkan. Mereka bersifat anonim dan sama sekali bukan merupakan bagian spiritual dari klub.

Kata Ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola Ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya. Ultras lebih daripada sekedar hadir di stadion dan memberi dukungan, ultras adalah sebuah totalitas mental, sikap dan perbuatan dalam mendukung klub, di dalam dan di luar stadion, saat ada dalam kelompok dan saat sendiri, saat menang dan saat kalah, saat klub di puncak kejayaan dan saat klub di nadir keterpurukan. Maka, empat nilai penting pada Ultras adalah kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas.

Cikal Bakal Ultras
Kelompok Ultras pertama di dunia terbentuk justru bukan untuk mendukung sebuah klub, melainkan untuk mendukung tim nasional. Torcida Organizada terbentuk di Brasil tahun 1939 untuk mendukung timnas mereka. Perang Dunia Kedua yang melanda Eropa membuat gagasan Ultras ini sedikit terlambat berkembang ke benua biru. Barulah pada 1950 Ultras pertama Eropa lahir di Yugoslavia, ketika pendukung klub Hajduk Split membentuk Torcida Split.

Hanya butuh waktu satu tahun, gagasan Ultras ini masuk ke Italia. Tahun 1951 lahirlah Ultras pertama di Italia, Fedelissimi Granata yang mendukung klub Torino. Fenomena Ultras ini makin meluas di Italia. Maka bermunculanlah kelompok Ultras seperti Fossa dei Leoni (Milan, 1968), Boys LFN (Internazionale, 1968), Ultras Sampdoria (Sampdoria, 1969) Commandos Monteverde Lazio/CML (Lazio, 1971), Yellow-blue Brigade (Hellas Verona, 1971), Viola Club Viesseux (Fiorentina, 1971), Ultras Napoli (Napoli, 1972), Griffin Den (Genoa, 1973), For Ever Ultras (Bologna, 1975), Black and Blue Brigade (Atalanta, 1976), Fossa dei Campioni dan Panthers (Juventus, 1976), dan Commando Ultra Curva Sud/CUCS (Roma, 1977).

Modus operandi terbentuknya kelompok-kelompok ini beraneka-ragam. Menggabungkan kelompok-kelompok kecil yang sudah ada sebelumnya, dari sosialisasi di cafe atau bar, kelompok di sekolah atau kampus, komunitas suatu area geografis tertentu, partai politik dan sebagainya. Usia mereka saat terbentuknya kelompok ini biasanya berkisar antara 15-25 tahun.

Kelompok-kelompok pertama yang terbentuk di atas biasanya tidak bertahan lama. Kelompok baru dari klub yang sama bermunculan, bersaing dan menyisihkan yang sebelumnya. Atau, beberapa kelompok melakukan merger. Dipenjarakannya tokoh-tokoh suatu kelompok Ultras akibat kerusuhan juga sering menjadi pemicu bubar. Hal yang paling sering terjadi adalah perpecahan dalam suatu kelompok akibat masuknya kepentingan partai politik yang memanfaatkan kekuatan Ultras, komersialisasi Ultras dalam memproduksi dan menjual merchandise, atau masuknya kelompok “swing ultras” alias para “glory hunters”. Mereka yang disebut terakhir ini adalah pendukung yang berpindah klub seiring naik-turunnya prestasi klub, sehingga melunturkan nilai-nilai Ultras itu sendiri. Fossa dei Leoni hingga kini tercatat sebagai Ultras yang paling lama bertahan (1968-2005).

Regenerasi anggota pada kelompok Ultras biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga, dalam suatu institusi sosial-budaya seperti sekolah, kampus, klub-klub hiburan dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai Ultras ini berlangsung sejak usia dini secara alamiah

Independensi
Nilai penting lain yang dianut Ultras adalah independensi. Nilai terakhir ini secara masif diperkenalkan oleh Irriducibili Lazio yang terbentuk tahun 1987. Penerapan independensi membatasi loyalitas Ultras hanya kepada tim atau para pemain, dan mengambil posisi independen terhadap pihak lainnya termasuk partai politik, sponsor dan terutama terhadap manajemen klub.

Setelah hadirnya Irriducibili Lazio, maka Ultras di Italia tersegregasi menjadi Ultras Keras dan Ultras Lunak. Kelompok keras akan menolak bantuan dalam bentuk apapun dari manajemen klub, mereka mandiri secara finansial, mengeluarkan uang pribadi untuk tiket dan biaya perjalanan dari kota ke kota mengikuti para pemain yang bertanding serta untuk memproduksi peraga (tifo) dalam stadion. Tak heran, fans Lazio misalnya, dapat bersikap sangat konfrontatif terhadap manajemen Lazio sendiri demi kepentingan pemain dan tim, yang diyakininya. Kelompok Ultras keras ini bersikap protektif membela pemain dan memprotes kebijakan manajemen klub saat prestasi kub melorot.

Kelompok lunak ini cenderung sejalan dengan manajemen klub dan sangat bergantung pada manajemen klub dalam hal pendanaan untuk keperluan spanduk atau bendera, penyediaan sarana gudang atau sekretariat, diskon tiket dan bahkan penyediaan sarana transportasi. Kelompok Ultras dari Juventus misalnya, sebagian besar terdiri dari keluarga dan kerabat pabrik mobil Fiat dan pemasoknya, mereka dikoordinasi dan dibiayai oleh keluarga besar Agnelli. Sementara kelompok Ultras di Internazionale memiliki hubungan finansial yang erat dengan keluarga besar Moratti. Beberapa kelompok bahkan memakai nama sang taipan minyak Italia tersebut pada nama grupnya. Kelompok Ultras lunak ini cenderung membela manajemen klub dan menyalahkan pemain atau pelatih jika prestasi klub merosot.

Apapun, Ultras lebih daripada sekedar pendukung klub. Ultras adalah jalan hidup, gaya hidup dan mentalitas. Tahun 2009 kelompok Ultras keras dari Lazio, Roma, AC Milan, Catania, Genoa dan Napoli mengadakan demonstrasi besar di kota Roma menentang penindasan atas Ultras dan pembatasan masuk stadion. Mereka mengeluarkan deklarasi bersama. Isi deklarasi ini dapat menggambarkan, bagaimana mentalitas Ultras itu sesungguhnya.
 

Sejarah

Persebaya didirikan oleh Paijo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927. Pada awal berdirinya, Persebaya bernama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Pada saat itu di Surabaya juga ada klub bernama Sorabaiasche Voebal Bond (SVB), bonden (klub) ini berdiri pada tahun 1910 dan pemainnya adalah orang-orang Belanda yang ada di Surabaya.
Pada tanggal 19 April 1930, SIVB bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung (sekarang Persib Bandung), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. SIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh M. Pamoedji. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. SIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1938 meski kalah dari VIJ Jakarta.
Ketika Belanda kalah dari Jepang pada 1942, prestasi SIVB yang hampir semua pemainnya adalah pemain pribumi dan sebagian kecil keturunan Tionghoa melejit dan kembali mencapai final sebelum dikalahkan oleh Persis Solo. Akhirnya pada tahun 1943 SIVB berganti nama menjadi Persibaja (Persatuan Sepak Bola Indonesia Soerabaja). Pada era ini Persibaja diketuai oleh Dr. Soewandi. Kala itu, Persibaja berhasil meraih gelar juara pada tahun 1950, 1951 dan 1952.
Tahun 1960, nama Persibaja diubah menjadi Persebaya (Persatuan Sepak Bola Surabaya). Pada era perserikatan ini, prestasi Persebaya juga istimewa. Persebaya adalah salah satu raksasa perserikatan selain PSMS Medan, PSM Makassar, Persib Bandung maupun Persija Jakarta. Dua kali Persebaya menjadi kampiun pada tahun 1978 dan 1988, dan tujuh kali menduduki peringkat kedua pada tahun 1965, 1967, 1971, 1973, 1977, 1987, dan 1990.
Prestasi gemilang terus terjaga ketika PSSI menyatukan klub Perserikatan dan Galatama dalam kompetisi bertajuk Liga Indonesia sejak 1994. Persebaya merebut gelar juara Liga Indonesia pada tahun 1997. Bahkan Persebaya berhasil mencetak sejarah sebagai tim pertama yang dua kali menjadi juara Liga Indonesia ketika pada tahun 2005 Green Force kembali merebut gelar juara. Kendati berpredikat sebagai tim klasik sarat gelar juara, Green Force juga sempat merasakan pahitnya terdegradasi pada tahun 2002 lalu. Pil pahit yang langsung ditebus dengan gelar gelar juara Divisi I dan Divisi Utama pada dua musim selanjutnya.

Pemain-pemain terkenal

Persebaya juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional Indonesia baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Abdul Kadir, Rusdy Bahalwan, Rudy Keltjes, Didiek Nurhadi, Soebodro, Riono Asnan, Yusuf Ekodono, Syamsul Arifin, Subangkit, Mustaqim, Eri Irianto, Bejo Sugiantoro, Anang Ma'ruf, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Chairil Anwar, dan Mursyid Effendi merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persebaya dan ada satu lagi pemain Persebaya yang sekarang Mamang terkenal walaupun kecil tapi larinya sangat kencang siapa siapa yang tidak tahu dengan nama Andik Vermansyah.
Salah satu yang cukup dikenang adalah Eri Irianto, pemain timnas era 1990-an yang meninggal dunia pada tanggal 3 April 2000 setelah tiba tiba menderita sakit saat Persebaya menghadapi PSIM Yogyakarta dalam pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia 1999/2000. Eri Irianto meninggal di rumah sakit pada malam harinya. Nama Eri kemudian dipakai sebagai nama Wisma/Mess Persebaya yang diresmikan pada tanggal 25 April 1993.
Persebaya pernah mendapat pemain yang sangat berkualitas di ajang Liga Djarum 2005, pemain itu bernama Zeng Cheng ia berposisi sebagai Kiper. Zeng Cheng berasal dari China dan bagusnya ia membela Timnas U-20 China sebagai Kiper Cadangan. Dan sekarang, Zeng Cheng masuk daftar Kiper ketiga di Timnas Senior China.

Kejadian kontroversial

Selain itu, dalam perjalanannya, Persebaya beberapa kali mengalami kejadian kontroversial. Saat menjuarai Kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya pernah memainkan pertandingan yang terkenal dengan istilah "sepak bola gajah" karena mengalah kepada Persipura Jayapura 0-12, untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang yang pada tahun sebelumnya memupuskan impian Persebaya di final kompetisi perserikatan. Taktik ini setidaknya membawa hasil dan Persebaya berhasil menjadi juara perserikatan tahun 1988 dengan menyingkirkan PSMS 3 - 1
Pada Liga Indonesia 2002, Persebaya melakukan aksi mogok tanding saat menghadapi PKT Bontang dan diskors pengurangan nilai. Kejadian tersebut menjadi salah satu penyebab terdegradasinya Persebaya ke divisi I. Tiga tahun kemudian atau tahun 2005, Persebaya menggemparkan publik sepak bola nasional saat mengundurkan diri pada babak delapan besar sehingga memupuskan harapan PSIS dan PSM untuk lolos ke final. Atas kejadian tersebut Persebaya diskors 16 bulan tidak boleh mengikuti kompetisi Liga Indonesia. Namun, skorsing diubah direvisi menjadi hukuman degradasi ke Divisi I Liga Indonesia.

Perpecahan dan mundur dari Liga Indonesia

Pada akhir tahun 2010, Persebaya terpecah menjadi dua tim. Satu tim dengan manajer Wisnu Wardhana tetap ikut Divisi Utama Liga Indonesia. Sementara tim lainnya, Persebaya di bawah Saleh Ismail Mukadar mengikuti Liga Primer Indonesia. Persebaya yang berkompetisi di Liga Primer Indonesia akhirnya berganti nama menjadi Persebaya 1927.[1] PT Pengelola Persebaya Indonesia didapuk menjadi pengelola konsorsium untuk PT Persebaya Indonesia. PT Pengelola Persebaya Indonesia didirekturi oleh Llano mahardhika, seorang mantan pegawai BLI. Walaupun akhirnya berhasil menjuarai Liga Primer Indonesia, namun manajemen PT Pengelola Persebaya tetap menimbulkan polemik karena kurangnya sosialisasi terhadap suporter, walaupun program yang dijalankan sangat bagus
sejarah supporter PERSEBAYA

Sejarah Berdirinya BONEK mania


Bonek dikenal sejak 1990-an. Bonek atau bondo nekat untuk menjuluki para suporter sepak bola yang tidak memiliki bekal atua modal (bondho). Namun mereka tak surut (nekat) untuk membela tim kesayangannya. 

Perilaku bonek sebenarnya warisan turun-temurun yang berlangsung cukup lama. Perilaku ini bermigrasi dari masyarakat yang hidup di pinggiran sungai Brantas yang membentang dari Kediri sampai Surabaya.
Bentangan wilayah inilah yang kemudian dikenal sebagai ekologi budaya Arek. Cakupan wilayahnya membentang dari pesisir utara di Surabaya hingga ke daerah pedalaman selatan, daerah Malang. Wilayah ini tergolong paling pesat perkembangan ekonominya, 49 persen aktivitas ekonomi Jatim ada di sini. Tak heran bila arus migrasi dari wilayah lain banyak masuk ke kawasan ini.
Bentangan ini kemudian oleh budayawan Ayu Sutarto disebut salah satu sub kultur yang ada di Jawa Timur, yaitu subkultur Arek. Arek sebagai salah satu kekayaan kultur Jawa Timur memiliki karakteristik yang keras khas pesisiran.
Karakter keras tersebut pun lebih pada sikap pantang menyerah, ngeyel, dan keteguhan mempertahankan pendapat serta prinsip sebagai wujud penghargaan tertinggi mereka terhadap harga diri.
Karena banyak bersentuhan dengan pendatang dari latar budaya, mereka membentuk budaya yang khas, budaya komunitas Arek. Mereka mempunyai semangat juang tinggi, solidaritas kuat, dan terbuka terhadap perubahan.
Karakter semacam ini dijelaskan oleh Autar Abdillah sebagai perpaduan hegemoni Mataram dan kerasnya alam yang membentuk budaya Arek. Autar memaparkan itu dalam tesisnya berjudul Hegemoni Mataram Terhadap Budaya Arek. Menurut Autar, tantangan alam yang keras selama lebih dari lima abad membuat mental dan karakter generasi Arek praktis menjadi begitu teruji.
Budaya Arek, menurut dosen Sendratasik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini, mengalami proses pembentukan yang panjang. Proses pembentukan itu bisa ditelusuri lewat buku Von Faber berjudul Er Werd Een Stad Geboren (1953). Di dalamnya terdapat pembabakan proses terbentuknya budaya Arek yang didasarkan pada peta yang dibuat pemerintah koloni sejak abad ke-9.
Setidaknya ada tiga peta yang telah dibuat, yakni abad ke-9, abad ke-10 dan abad ke-13. Ketiga peta ini merupakan sumber penting untuk memetakan perkembangan kondisi Surabaya, berikut karakter masyarakatnya.
Lebih jauh Autar menceritakan, sebelum seperti sekarang, kondisi Surabaya yang dulu, tepatnya di abad ke-4, masih berupa gugusan pulau kecil. Beberapa pulau yang kini menjadi kampung seperti Wonokromo, Ngasem, Rungkut, Bungkul, dan Bagong merupakan bukti bahwa sebenarnya kehidupan masyarakat Surabaya pada masa itu tidak bisa seperti sekarang yang dengan mudah bepergian dari satu kawasan ke kawasan lain.
Dominasi peraturan serta konvensi Majapahit dengan doktrin Hindu-Jawanya yang pada masa itu memang mengakar begitu kuat membuat munculnya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran. Itulah latar belakang akhirnya dibangun sebuah penjara yang berada di kawasan Domas, sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Bungkul dan Dadungan, meskipun kini baik kawasan Domas maupun Dadungan sudah lenyap, entah benar-benar lenyap atau berganti nama. Sedangkan kawasan Bungkul tetap ada hingga kini, hanya saja semakin bertambah luas wilayahnya.
Penjara Domas tersebut terbagai menjadi 8 tingkatan, mulai tingkatan awal yang merupakan tempat bagi narapidana yang sama sekali belum bisa dididik hingga menjadi masyarakat yang taat. Sampai pada tingkat terakhir yang merupakan tempat penggodokan atau pengayaan bagi narapidana yang sudah mulai bisa dikembalikan ke jalan yang sesuai dengan aturan yang ada.
Penjara Domas tersebut ditengarai merupakan penjara pertama yang menggunakan sistem hukuman kurung. Saking kerasnya, di penjara bagian awal, kecil kemungkinan bagi narapidana untuk bisa bertahan hidup.
Betapa tidak, dalam penjara yang terletak di pulau kecil sebelah utara Domas, di mana pulau tersebut akan tenggelam jika air laut sedang pasang. ”Jadi tidak mungkin narapidana yang dipenjara di sana bisa selamat,” kisah Autar.
Meski demikian, masih ada juga narapidana yang bisa selamat dari kepungan air laut yang pasang. Narapidana yang bisa selamat itu kemudian terus naik hingga ke tingkat paling akhir, untuk kemudian dilepas kembali ke masyarakat.
Narapidana yang berhasil lolos dari penjara bagian awal tersebut bisa dikatakan merupakan narapidana-narapidana yang memiliki semacam kesaktian, yang kebanyakan setelah menempuh kedelapan bagian penjara Domas. Mereka kemudian menempati wilayah Bungkul. Inilah yang kemudian membuat Bungkul menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki kesaktian.
Kerasnya kehidupan di Domas memang ditengarai yang memicu karakter keras dan pantang menyerah dari masyarakat Surabaya yang memang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi.
Belum lagi ditambah tantangan alam yang sepertinya tidak pernah bersahabat dengan masyarakat waktu itu. Dalam kurun waktu lebih dari 431 tahun, mereka harus mengalami dampak dari 22 kali letusan Gunung Kelud. Lahar dingin yang terus membanjiri sungai, ditambah hujan abu yang begitu sering terjadi, membuat hidup mereka semakin susah.
Kesusahan hidup inilah yang secara lebih dari empat abad menempa dan membentuk mereka menjadi manusia yang kuat, tidak pantang menyerah, dan loyal pada tempat tinggalnya. Hingga akhirnya endapan lahar dingin Gunung Kelud semakin mempersatukan pulau-pulau yang terpisah itu menjadi satu daratan, dengan tambahan beberapa reklamasi yang dilakukan sendiri oleh warga.
”Meski susah, mereka tetap bertahan di tempat tinggal mereka,” ungkap Autar.
Hingga akhirnya masuklah invasi Mataram di tahun 1622-1625. Invasi ini setidaknya membawa pengaruh pada masyarakat, baik secara struktural, maupun secara kultural. Perubahan yang paling menonjol adalah perubahan dalam aspek kultural, dalam hal ini adalah bahasa dan tata hubungan masyarakat.
Kawasan sekitar sungai Brantas yang semula berkarakter egaliter, tanpa kelas, apa adanya, yang bisa dilihat dari bahasa yang mereka pakai  yang juga merupakan bahasa Jawa ngoko, bahasa yang tidak membedakan kelas, berubah total setelah masuknya Mataram.
Invasi Mataram kemudian mengubah kebiasaan mereka. Bahasa yang mereka pakai pun perlahan terpengaruh oleh bahasa khas Mataraman, yang lebih halus dan memiliki strata bahasa yang sangat terstruktur.
Hal ini disebabkan hegemoni yang dilakukan Mataram dengan menempatkan ‘raja-raja kecil’ untuk menguasai wilayah-wilayah yang ada di sekitar sungai Brantas.
Ini dibenarkan oleh Akhudiat. Budayawan asal Surabaya ini mengisahkan bahwa setelah Majapahit ditaklukkan Mataram di masa pemerintahan Pangeran Pekik, praktis Mataram pun kemudian menguasai Surabaya dan daerah lain di sekitar sungai Brantas. Hingga akhirnya Surabaya pun saat itu dikuasai Unggul Sawelas, sebelas pemimpin Mataram.
Berbeda dengan wilayah yang berada di sisi barat sungai Brantas, wilayah di sisi sebelah timur sungai Brantas memang cenderung lebih susah ditaklukkan. Kebanyakan masyarakat di wilayah ini merupakan orang-orang buangan yang memiliki kekuatan baik fisik maupun metafisik.
Dengan modal inilah kemudian karakter Arek yang sudah tertanam dalam diri mereka dapat ’sedikit’ dipertahankan. Hingga akhirnya sampai kini masih bisa setia dilestarikan oleh masyarakat di daerah pesisir sungai Brantas, mulai Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Malang, Kediri, dan Blitar.
”Maka muncullah budaya Arek yang meliputi wilayah dari Surabaya hingga Kediri dan Blitar,” ungkap Autar.
Memang, khusus Kediri dan Blitar, tergolong kasus yang unik. Betapa tidak, dua kota ini pada dasarnya memiliki dua kultur yang bertolak belakang. Meski bahasa dan dialek yang mereka gunakan menganut bahasa khas Mataraman yang halus dan berstrata, namun karakter asli beberapa dari mereka, seperti masyarakat yang berada di lereng Gunung Kelud dan pesisir sungai Brantas, tidak dapat dipungkiri, benar-benar khas Arek. Pantang menyerah, ngeyel, dan begitu teguh memegang prinsip serta pendapatnya.
”Khas Majapahitan, yang selalu merasa lebih unggul dari kaum mana pun,” tegas Akhudiat.
Jadi, falsafah bonek, yakni bondo nekat sebenarnya merupakan sebuah wajah asli dari masyarakat pesisir sungai Brantas, khususnya Surabaya.
Hingga tidak bisa dipungkiri, semangat pantang menyerah dan keteguhan memegang prinsip dan harga diri mereka merupakan faktor utama pecahnya perang 10 November 1945 yang ditengarai merupakan tonggak awal munculnya istilah Arek.
Oleh karena itulah, perang revolusi 10 November 1945 bukanlah tonggak awal, melainkan lebih merupakan titik kulminasi dari munculnya karakter dan budaya Arek tersebut. ”Gara-gara kekerasan kepala masyarakat Surabaya yang tidak mau mematuhi ultimatum Mansergh, pecahlah perang besar 10 November 1945,” pungkas Autar.
 

Sejarah

Sebelum bernama Persib Bandung, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot pulalah yang tercatat sebagai Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan di luar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.
Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (sekarang Persebaya), MIVB (PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.
Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah-olah Persib merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Persib memenangkan "perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepak bola satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung di bawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu strategi) kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang, kegiatan persepak bolaan yang dinaungi organisasi dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga di seluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.
Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.
Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar di berbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.
Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, dekade 1950-an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah-pindah sekretariat. Wali Kota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.
Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.
Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995. Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.
Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.
Sebagai tim yang dikenal baik, Persib juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Heri Kiswanto, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nur'alim, Yaris Riyadi hingga generasi Erik Setiawan dan Eka Ramdani merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib.Sampai saat ini Persib Bandung adalah tim Indonesia yang bisa di bilang paling dibanggakan oleh Indonesia karena prestasi dan kemampuannya.

Akhirnya setelah penantian selama kurang lebih 17 tahun, Persib Bandung akhirnya meraih satu trofi yaitu CELEBES CUP 2012 dengan mengalahkan Sriwijaya FC di final pada tanggal 04 November 2012 di Stadion Siliwangi dengan skor 1 - 0, Gelar ini tentu saja memberikan efek yang sangat baik untuk skuad persib bandung yang sebentar lagi akan dihadapkan pada kompetisi sesungguhnya yaitu Indonesian Super League (ISL), Kemenangan melawan Sriwijaya juga mengukuhkan Persib sebagai Juara CELEBES CUP 2012 setelah pada tahun 2011 Juara CELEBES CUP adalah Makassar United. Semoga pencapaian ini tidak menjadikan skuad Persib menjadi puas diri, ini merupakan sebuah awal dari perjalanan yang panjang musim 2012 nanti, semoga hasil yang begitu baik ini menjadi obat bagi para jutaan bobotoh yang telah menantikan sekian lama sebuah gelar. Kita doakan PERSIB BANDUNG MENJADI KAMPIUN ISL 2012. Amin :)

Stadion dan Mess

Stadion si Jalak Harupat (bird eye)
Hingga saat ini, Persib masih menggunakan Stadion Si Jalak Harupat untuk memainkan laga kandangnya. Setelah sebelumnya memakai Stadion Siliwangi.
Pada Indonesian Super League 2008/2009, Persib terpaksa harus meninggalkan Stadion Siliwangi setelah terjadi kerusuhan ketika menjamu Persija Jakarta pada pekan kedua. Ditambah situasi politik yang sedang memanas akibat berlangsungnya Pemilu 2009, Kepolisian Kota Bandung tidak lagi mengeluarkan surat izin menyelenggarakan pertandingan di Stadion Siliwangi bagi Persib. Sebagai alternatif, dipilihlah Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, sebagai "home-base" hingga akhir musim kompetisi.
Berdasarkan permasalahan itulah Pemerintah Kota Bandung berencana membangun Sarana Olahraga baru, termasuk stadion, di kawasan Gedebage. Stadion itu sendiri, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada awal 2008, ini diproyeksikan untuk menjadi home-base Persib serta untuk menyelenggarakan SEA Games tahun 2011 nanti. Stadion ini juga direncanakan untuk digunakan pada Porprov Jawa Barat 2010. Saat ini, kontrak pembangunan stadion yang rencananya akan diberi nama Stadion Utama Sepakbola Gedebage ini telah diperoleh PT Adhi Karya Tbk dengan nilai Rp495,945 miliar. Diperkirakan, pembangunan stadion ini akan memakan waktu 883 hari.
Untuk lapangan latihan, Persib menggunakan Stadion Persib di Jl. Ahmad Yani. Stadion yang dulunya dikenal dengan nama Stadion Sidolig ini direnovasi sejak tahun lalu. Kini di stadion tersebut terdapat lapangan latihan dengan rumput baru dan trek berlari serta di sampingnya terdapat mess untuk tempat tinggal para pemain dan staff Persib serta untuk kantor. Pada pertengahan bulan Juli diadakan rencana renovasi tahap kedua, yaitu merenovasi bagian depan stadion yang sekarang ini hanya merupakan ruko-ruko tempat menjual kaos Persib dll. Rencana ini menimbulkan kerisauan bagi para pedagang di sekitar Stadion Persib karena mereka tidak akan mendapat penghasilan jika diwajibkan mengosongkan lahan bisnis mereka.
Sejak diresmikan, pernah bocor dan ambruk akibat pipa air yang bocor. Belum lagi masalah rumput lapangan yang mengering karena terlamess persib sudah beberapa kali mendapatkan masalah. Atap ruang VIP di mess itu sering dipakai. Akhir-akhir ini atap mess juga bocor akibat musim hujan, sehingga menyebabkan licinnya lantai dan terganggunya aktivitas. Letak Stadion Persib yang berada di Jl. Ahmad Yani yang merupakan pusat keramaian juga membuat istirahat para pemain terganggu dan mudahnya para bobotoh untuk masuk ke dalam stadion.
sejarah supporter PERSIB

SEJARAH BERDIRINYA VIKING

Melihat rangkaian sejarah perjalanan Viking Persib Club, maka para Vikers (anggotanya) akan selalu bercermin pada perjalanan Persib Bandung dalam mengarungi Samudra kompetisi sepakbola Indonesia, baik pada saat Kompetisi Perserikatan maupun pada saat Liga Indonesia. Berawal dari perjalanan prestasi “Sang Maung Bandung” yang begitu membanggakan dan menggetarkan dunia persepakbolaan Indonesia, khususnya pada dekade 1985 hingga dekade 1995, dimana Persib mampu memberikan suatu kebanggaan kepada para pencintanya, dengan tampil lima kali berturut-turut pada partai final Piala Presiden (Perserikatan kala itu), dan tiga kali diantaranya Persib berhasil tampil sebagai “Kampioen”, yang kemudian berlanjut dengan merebut gelar “Juara” untuk pertama kalinya pada kompetisi format baru, yaitu Liga Indonesia. “Totalitas” yang telah diberikan oleh Persib kepada para pencintanya, kemudian dijawab kembali dengan “Totalitas” oleh sekelompok Pendukung Fanatik Persib yang kala itu sering menempati Tribun Selatan Stadion Siliwangi. Tercetuslah ide untuk membentuk sebuah kelompok Bobotoh demi melestarikan dan menjaga kebesaran nama Persib, disamping untuk menyatukan aspirasi serta kesamaan rasa cinta kepada “Sang Idola” Persib Bandung.

Melalui beberapa kali pertemuan yang cukup alot dan memakan waktu, akhirnya terbentuklah sebuah kesepakatan bersama. Tepatnya pada Tanggal 17 Juli 1993, disebuah rumah dibahu jalan Kancra no. 34, diikrarkanlah sebuah kelompok Bobotoh dengan nama ….. VIKING PERSIB CLUB. Adapun pelopor dari pendiriannya antara lain ; Ayi Beutik, Heru Joko, Dodi “Pesa” Rokhdian, Hendra Bule, dan Aris Primat dengan dihadiri oleh beberapa Pioner Viking Persib Club lainnya, yang hingga kini masih tetap aktif dalam kepengurusan Viking Persib Club.

Nama VIKING diambil dari nama sebuah suku bangsa yang mendiami kawasan skandinavia di Eropa Utara. Suku bangsa tersebut dikenal dengan sifat yang keras, berani, gigih, solid, patriotis, berjiwa penakluk, pantang menyerah, serta senang menjelajah. Karakter dan semangat itulah yang mendasari “Pengadopsian” nama VIKING kedalam nama kelompok yang telah dibentuk.

Secara demonstratif, Viking Persib Club pertama kali mulai menunjukan eksistensinya pada Liga Indonesia I -- tahun 1993, yang digemborkan sebagai kompetisi semi professional pertama di Tanah Air kita. Slogan “PERSIB SANG PENAKLUK” begitu dominan terlihat pada salah satu atribut yang dipakai anggotanya.

Perjalanan waktu, kebersamaan, hubungan pertemanan, serta kesamaan rasa cinta yang telah terbina, pada akhirnya telah menjadikan Viking Persib Club sanggup bertahan hingga saat ini, bahkan semakin berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah nusantara.

Idealisme Viking Persib Club
Viking Persib Club adalah sebuah kelompok bukanlah organisasi atau fans club dengan segala aturan-aturan formal yang mengikatnya. Setiap anggota atau Vikers adalah bagian dari sebuah “Keluarga”, …. Dan layaknya sebuah Keluarga, keberagaman sifat dan tingkah laku yang berada didalamnya adalah merupakan sesuatu hal yang lumrah, dan Viking akan selalu berusaha untuk mengakomodir keberagaman tersebut.
Kelompok Suporter dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, karena didalamnya terdapat sekumpulan individu yang berinteraksi secara bersama-sama serta memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan oleh kehendak dan prilaku yang disepakati. Seperti kebanyakan kelompok-kelompok Bobotoh lainnya yang turut terlahir sama seperti halnya Viking Persib Club, yaitu secara Grass Root (dari arus bawah), maka Viking Persib Club memiliki cara atau cirri khas dalam menyikapi setiap permasalahan anggotanya. Hubungan pertemanan dan kekeluargaan yang tulus, erat tanpa pamrih serta rasa persaudaraan yang tinggi menjadi modal yang kuat bagi VIKING untuk terus eksis selama beberapa dekade.
Keanggotaan Viking Persib Club yang semakin besar, jelas menuntut sebuah tanggung jawab serta pengaturan yang sedemikian rupa secara professional, agar dapat lebih terukur dari segi pendataan, keuangan, rutinitas maupun manajerial, yang tentu saja membawa dampak tanggung jawab yang sangat besar bagi kepengurusan Viking Persib Club. Namun tentu saja semua formalitas tersebut tidak akan menghilangkan warna, ciri khas serta karakter Viking Persib Club. “Viking tetaplah Viking! Dia harus bercirikan kedekatan yang tulus antar anggotanya dan berkarakter sebagai sebuah keluarga ataupun geng”
Viking Persib Club murni lahir secara independen berdasarkan inisiatif dari para Bobotoh dari golongan grass root. Dalam pandangan Viking, supporter tidak hanya berperan sebagai “tukang sorak” saat menyaksikan dan mendukung kesebelasan kesayangannya, tetapi peran supporter harus lebih dari itu! Dia harus menjadi pembangkit semangat saat tim kesayangannya jatuh bangun menunaikan tugasnya dilapangan. Supporter juga harus menjadi kekuatan tambahan bagi para pemain dilapangan, …… intinya, supporter harus menjadi pemain ke-12! Dan VIKING ingin menjadi pemain ke-12 bagi PERSIB.
Pada saat ini, …… ketika sepakbola sudah menjadi industri, Peranan Bobotoh buat PERSIB pun menjadi berkembang tidak hanya sebagai objek pelengkap saja. Bobotoh seharusnya menjadi bagian dari prestasi dan keberhasilan yang dicapai oleh PERSIB. Berangkat dari sana, ….. Viking Persib Club pun mulai mengembangkan sayapnya dalam berbagai bentuk aktualisasi diri, mulai dari peningkatan pengkoordiniran massa dengan dibentuknya “distrik” di berbagai wilayah pada kantung-kantung Bobotoh, Penjualan Merchandise, pembuatan album kompilasi Persib, hingga tour organizer yang menyelenggarakan pemberangkatan rombongan Bobotoh ketika mendukung PERSIB apabila bermain tandang.

Kepemimpinan & Kepengurusan Viking Persib Club

Sejak awal berdirinya hingga saat ini, ….. Viking Persib Club diketuai oleh Heru Joko, dengan Panglima --- Ayi Beutik. Pertanyaan yang muncul, ……. Mengapa harus ada figur panglima? Jawabannya singkat saja, karena Bobotoh terikat secara emosional, dan mereka mengikatkan diri kepada PERSIB dan juga kepada sesama pendukung Persib. Kata Panglima disini adalah sosok “Ibu” dalam keluarga, pengasuh bagi anak-anaknya, sosok yang memimpin serta melindungi para anggota apabila terjadi sesuatu dilapangan. Sedangkan jabatan Ketua Umum yang disandang Heru Joko, adalah sebagai figure kharismatik yang memiliki fungsi politis keluar organisasi atau kelompok lain. Lain halnya dengan Yoedi Baduy yang menjabat sebagai Sekretaris Umum, ia mengelola dan mengkoordinir segala bentuk kegiatan secara administratif. Bisa dikatakan ketiganya adalah pemimpin atau leader Viking Persib Club, yang tentu saja ditopang oleh pentolan-pentolan Viking Persib Club yang lainnya, seperti ; Yana Ewok, Asep “Ucok”, Yana Bool (Mr. Y), Dadan Gareng, Boseng, Odoy, Pesa dan Hendra Bule.